Gorontalo sebagai salah satu
suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam kesenian daerah, baik
tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah
adat, dan pakaian adat. Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain,
Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga. Sedangkan
lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah
Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah
Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan
Binde Biluhuta (Sup Jagung).
Pakaian adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara
perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang
lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u
atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu
ungu, kuning keemasan, dan hijau
Biliu
Alat musik Daerah Gorontalo
Gorontalo merupakan salah satu
propinsi baru memisahkan diri dari propinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001,
memiliki jenis kebudayan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Salah satu
kesenian sebagai bagian dari kebudayaan daerah Gorontalo yang cukup terkenal
yaitu musik tradisional Polopalo. Menurut masyarakat Gorontalo, musik
tradisional Polopalo merupakan musik asli rakyat Gorontalo, namun pada
perkembangannya, ternyata ditemui ada alat musik daerah lain yang hampir serupa
dengan musik ini yakni alat musik Sasaheng dari Sangihe Talaud dan Bonsing
dari Bolaang Mongondow.
Alat musik tradisional Polopalo merupakan
alat musik jenis idiofon atau golongan alat musik yang sumber bunyinya diproleh
dari badannya sendiri (M. Soeharto 1992 : 54), Dalam artian bahwa ketika
Polopalo tersebut di pukul atau sebaliknya memperoleh pukulan, bunyinya akan
dihasilkan dari proses bergetarnya seluruh tubuh Polopalo tersebut.
Alat musik Polopalo adalah alat musik yang bahan dasarnya terbuat dari bambu, bentuknya menyerupai garputala raksasa dan teknik memainkannya yakni dengan memukulkan ke bagian anggota tubuh yaitu lutut. Pada perkembangannya, Polopalo mendapatkan penyempurnaan pada beberapa hal, salah satunya adalah kini Polopalo dibuatkan sebuah pemukul dari kayu yang dilapisi karet agar mempermudah dan membantu dalam proses memainkan alat musik Polopalo. Hal ini memberi dampak selain tidak membuat sakit bagian anggota tubuh yang dipukul, juga membuat Polopalo tersebut berbunyi lebih nyaring.
Pada era tahun 60-an sampai sekitaran
tahun 90-an, Polopalo biasanya dimainkan pada waktu – waktu tertentu, yang pada
hari tersebut merupakan hari yang spesial menurut masyarakat Gorontalo.
Contohnya, pada waktu masyarakat daerah Gorontalo telah selesai melaksanakan
panen raya atau pada waktu bulan t’rang (bulan purnama). Tradisi
memainkan musik Polopalo dilaksanakan tanpa menunggu perintah atau komando,
dalam hal ini masyarakat tergerak dengan sendirinya karena merasa harus
bergembira bersama dalam mensyukuri hari yang indah atau hari yang spesial
tersebut. Biasanya musik tradisonal Polopalo itu dimainkan kira – kira pukul
22.00 sampai pukul 01.00 waktu setempat.
Musik Polopalo saat ini agaknya kurang
diminati masyarakat. Kemungkinan penyebabnya antara lain, alat
musik ini hanya dimainkan sendiri dengan variasi nada terbatas. Untuk lebih
diminati, kemungkinan pengembangannya pada bentuk komposisi musik, yang
diharapkan dapat menggugah generasi muda sebagai penerus kebudayaan, yang
sehari-harinya mereka banyak mengkonsumsi berbagai aliran musik baru yang
beraneka ragam. Oleh sebab itu pengambangan musik Polopalo diharapkan akan
menghasilkan harmonisasi dan improvisasi variatif mengikuti perkembangan musik
pada umumnya.
Rumah
Adat
Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo
Pomboide dan Dulohupa. Rumah adat ini terletak di tepat
di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto. Dulohupa
terletak di di Kelurahan Limba U-2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.
Akan tetapi, rumah adat Dulohupa yang satu ini kini tinggal kenangan karena
sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat
bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa lampau.
|
Rumah Adat Dulohupa di Limba U-2,
Kota Selatan, Gorontalo (tinggal kenangan) |
Pada
masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan
kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur
pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo
Syara (Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).
Orang
Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek
Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan
adalah dialek Gorontalo.
Penarikan
garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis
ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus
berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara
laki-laki ayah dan ibu.
Menurut
masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila.
Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo
yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan
orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang
menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan
Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada
kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa,
atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah
menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.